Berawal dari botol plastic yang hanyut di kali, sebaris pertanyaan muncul dalam benak Hafiz dan Adan”Bisa dibuat menjadi apakah barang tersebut?” Dalam perjalanan, keduanya kemudian menemukan selembar brosur Lomba Daur Ulang Barang Bekas, tertempel pada sebatang pohon. Ide mereka kemudian terbit seperti fajar tergugah membuat sesuatu yang selaras dengan cita-cita mereka, yang perwujudannya dapat dikatakan menantang ketekunan robot.

                Hafiz dan adan mereka adalah anak dari dusun Baran di GunungKidul. Keduanya sahabat karib  yang kendati kerap tak sepedapat, namun sekaligus sukar dipisahkan. Berawal dari penemuan botol plastic tersebutlah, tapak, langkah keduanya bermula. Hasrat yang muncul itu pula yang mengantarkan mereka ke panggung dunia memenangkan kontes robot internasional. Demikianlah sepintas cerita film “ Gegayuhan” karya Tim TV UAD, Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.

                Film “gegayuhan” bulan Juli 2019 lalu telah “bertarung” melawan 160 film lainnya dalam ajang Festival Film Mahasiwa Indonesia (FFMI) yang diselengarakan oleh Kementrian Riset,Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) Republik Indonesia untuk yang pertama kali di Lampung Film Tersebut pun berhasil meraih juara kategori “ Best Editing”.

                Selain itu, dari total sepuluh nominasi, delapan di antarantanya mencantumkan Film “Gegayuhan” sebagai nominator. Prestasi tersebut tentu merupakan Raihan yang patut diacungi jempol.

                Rizkan Is Mahmud, sang sutradara, menjelaskan bahwa ide tentang film “Gegayuhan” merupakan satu dari sekian ide yang muncul dalam proses brainstorm ide Tim TV UAD, setelah sebelumnya pada bulan Maret 2019 mereka mendapatkan informasi perihal lomba film dari sang pebina. “sebelumnya, memang muncul banyak gagasan, namun ketika proses penyaringan dilakukan yang terpikirkan kemudian ialah mencoba menggarap film yang melibatkan anak-anak di dalamnya. Kepada mereka, kami ingin memberikan gambaran, motivasi, dan edukasi, bahwa anak-anak hari ini (generasi milenial) cenderung terfokus pada gawal(gadget). Perlahan – lahan, mereka juga harus disadarkan bahwa sebenarnya kurang memanfaatkan gawal dengan baik,”terang laki-laki yang juga menjabat sebagai ketua TV UAD itu.

                Pelibatan anak-anak itu kemudian kami coba kombinasikan dengan isu barang bekas sebab tema lomba adalah Indonesia Gemilang. Kami berpikir, ‘Indonesia Gemilang’ adalah Indonesia yang bebas barang-barang bekas atau tumpukan sampah,”lanjut Mahmud.

Dalam proses berikutnya, Bersama tim, pria asal Tidore tersebut coba melakukan penggeseran dan pengembangan cerita menjadi narasi sebagaimana dapat dinikmati dalam film “Gegayuhan” : cita-cita membuat robot, yang anti mainstream dengan anak-anak kebanyakan.

                Tatkala mempersentasikan film dalam FFMI, poin- poin tersebut rupanya menjadi sorotan para juri. “Optimisme kami tebit kembali ketika juri berkomentar mengnai aspek editing yang kuat. Selain itu gambar-gambar yang kami sajikan pun menarik menurut mereka. Dan satu poin lain yang menjadi catatan adalah keberanian kami dalam men-direct anak-anak,” kenang Mahmud. Yang saat itu juga ikut terbang ke Lampung.

                Hasil yang memuaskan tentu tidak diraih tanpa usaha yang maksimal dan bepeluh-pelu. Hal tersebut berlaku dalam penggarapan “Gegayuhan”. Praproduksi memakan waktu sekitar dua bulan, mulai dari persiapan naskah, breakdown per divis, survei lokasi, dan sebagainya. Tahap produksi dijadwalkan empat hari, namun menjadi seminggu kareka kendala pelaksanaan syuting yang dilakukan pada bulan Ramadan, dan efeknya stamina anak-anak cukup terkuras. Perlu kesabaran pula ketika berkadapan dengan karakter mereka. Dusun Baran, Desa Salam, Kecamatan Patuk, Kabupaten GunungKidul, menjadi lokasi syuting yang kami pilih. Tahap terakhir ialah pascaproduksi berupa editing selama satu bulan setengah. Dan terkait biaya, kami memakai kas TV UAD sekitar 3-4 juta rupiah,” papar Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi, Fakultas Sastra, Budaya, dan Komunikasi (FSBK), UAD itu.

                “Gegayuan” Adalah istilah untuk “impian” dalam Bahasa Jawa. Judul tersebut, menurut Mahmud justru muncul setelah film dirampungkan. Setelah melalui dialog dengan tim, “Gegayuhan” adalah judul paling berkesan, ngena, selaras pula dengan film yang penuh dialog Jawa. Selain itu, istilah “Gegayuhan Juga menimbulkan rasa penasaran orang-orang. Bahkan, ada lho orang jawa yang masih asing dengan istilah ini,”ungkap Mahmud.                 Setelah cukup sukses dengan film “Gegayuhan” kreativitas Tim TV UAD diharapkan takkan berhenti sampai di situ. Hal tersebut dimini pula oleh Mahmud, ketika ditanya perihal Garapan ke kepan, Mahmud menjawab, “Kami sedang menggarap film yang berangkat dari cerpen “Wajah Lain Supriana” karya Sule Subaweh, yang termuat dalam kumpulan cerpen Bedak dalam Pasir (2017). Saya dan tim tertarik mengangkatnya menjadi film. Setelah berdiskusu dengan sang penulus, dan rupanya ia setuju kami pun memulai prosesnya. Saat ini, naskahnya telah rampung, namun tidak menutup kemungkinan akan dibahas lagi. Semangat kami menggarapnya, barangkai dapat dikatakan sebagai efek dari kesuksesan film sebelumnya,”tandas mahasiwa yang kini tengah menyelesaikan tugas akhir tersebut. (llh)

Sumber : Kabar UAD